Faktor Yang Mempengaruhi Adiksi Terhadap Smartphone Pada Remaja di Indonesia
Pendahuluan
Menurut Indonesia raksasa teknologi digital (2020) pertumbuhan pengguna smartphone
di Indonesia yang sangat cepat menunjukkan adanya permintaan yang tinggi
terhadap layanan dan produk digital. DataReportal menunjukkan lonjakan dramatis
pengguna aktif smartphone di Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut
Yusra (dalam As-Sahih
et al., 2020) sesuai laporan Ericsson, Indonesia
menjadi juara penggunaan smartphone di kawasan Asia Tenggara dengan persentase
pengguna mencapai 38%. Menurut Kwon (dalam
Riyadi & Widiastuti, 2023) di antara pengguna smartphone,
remaja menempati porsi yang cukup signifikan. Kecenderungan mereka untuk
berkonsentrasi saat menggunakan smartphone, sayangnya juga membuat
mereka lebih mudah kecanduan dibandingkan orang dewasa. Remaja, dengan rentang
usia 11-18 tahun, adalah periode di mana emosi seperti rollercoaster,
naik turun dengan cepat. Fenomena ini disebabkan
oleh perubahan hormonal dan pencarian jati diri (Santrock
dalam Riyadi & Widiastuti, 2023). Kecenderungan untuk terus-menerus
menggunakan smartphone dapat mengganggu aktivitas sehari-hari dan memicu
masalah kesehatan mental (Riyadi
& Widiastuti, 2023). Maka dengan permasalahan ini, penulis
mengumpulkan beberapa referensi lewat jurnal-jurnal yang telah ada sebelumnya,
skripsi, web page, dan newspaper article sebagai sumber guna
mengetahui korelasi antara beberapa faktor yang mempengaruhi adiksi smartphone
pada kalangan remaja di Indonesia.
Teori
Kecanduan smartphone adalah
masalah serius yang dapat mengisolasi seseorang dari lingkungan sosialnya.
Ketergantungan yang berlebihan pada ponsel dapat menyebabkan kesulitan dalam
berinteraksi dengan orang lain dan menjalani kehidupan normal (Kwon
et al., 2013). Menurut Annisa (2018) kecanduan smartphone
merupakan gangguan yang ditandai dengan kesulitan mengontrol dorongan untuk
menggunakan ponsel, sehingga waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan
ponsel menjadi berlebihan. Paska dan Yen
(dalam Riyadi & Widiastuti, 2023) faktor utama yang memengaruhi kecanduan smartphone
adalah alasan penggunaannya. Individu yang menggunakan ponsel untuk belajar
cenderung lebih termotivasi dan memiliki kontrol diri yang lebih baik, sehingga
risiko kecanduannya lebih rendah. Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa kecanduan smartphone adalah suatu kondisi di mana seseorang sangat
bergantung pada ponsel pintar. Penggunaan yang berlebihan dan terus-menerus ini
dapat memicu ketergantungan yang kuat, baik secara fisik maupun mental,
sehingga berdampak buruk pada kehidupan pribadi, sosial, dan produktivitas
indivdu (Riyadi
& Widiastuti, 2023). Menurut Schoeni (dalam
Lin et al., 2019) penggunaan smartphone yang
berlebihan, terutama sebelum tidur, dapat mengganggu pola tidur yang sehat.
Selain itu, kebiasaan ini juga dikaitkan dengan berbagai keluhan fisik seperti
nyeri otot, kelelahan kronis, sakit kepala, dan penurunan energi. Kecanduan smartphone
dapat menyebabkan berbagai masalah mental. Secara mental, individu yang
kecanduan seringkali mengalami ketidakstabilan emosi, kesulitan berkonsentrasi,
depresi, dan kesulitan mengendalikan diri. Lee berpendapat bahwa kebiasaan
menggunakan ponsel secara berlebihan karena kenyamanan dan kesenangan yang
ditawarkan adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan kecanduan (Lee dalam
Park
& Park, 2014). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
oleh As-Sahih
et al. (2020) dengan dua kelompok remaja pengguna smartphone
menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam tingkat kecanduan mereka. Remaja
dengan kecanduan tinggi ditandai dengan penggunaan smartphone yang
sangat intens, sehingga menimbulkan berbagai masalah kesehatan fisik seperti
nyeri leher, serta masalah psikologis seperti kecemasan saat tidak menggunakan
ponsel. Di sisi lain, remaja dengan kecanduan rendah juga mengalami gejala
fisik dan psikologis yang serupa. Namun, dukungan keluarga yang baik, komunikasi
yang terbuka, dan pengawasan yang tepat memungkinkan mereka untuk menggunakan
smartphone secara lebih seimbang dan produktif. Lee
et al. (2014) memberikan sumbangsih yang
signifikan dalam memahami bagaimana gender berperan dalam memicu perilaku
adiksi smartphone pada remaja. Meskipun penelitian mengenai kecanduan gadget
seringkali menggeneralisasi, studi ini menggali lebih dalam mengenai
perbedaan gender dalam konteks penggunaan smartphone. Menurut As-Sahih
et al. (2020) bahwa periode rentang usia remaja sangat
krusial dalam perkembangan individu, terutama dalam hal kematangan emosional.
Kematangan emosional ini kemudian berkorelasi erat dengan perilaku adiksi smartphone.
Beberapa faktor di atas
akan dielaborasi lebih lanjut pada
bagian pembahasan.
Pembahasan
Kecanduan smartphone
seringkali dikaitkan dengan kurangnya efektivitas dalam fungsi keluarga.
Penelitian oleh Toda dan Ezoe mendukung
hal ini dengan menunjukkan bahwa pola asuh orang tua memiliki pengaruh
signifikan terhadap tingkat ketergantungan anak pada ponsel. Selain itu, faktor
psikologis seperti perasaan kesepian juga menjadi pemicu utama kecanduan smartphone
(Toda
& Ezoe dalam Mariyanti et al., 2021). Ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Subagio
& Hidayati (2017) pada siswa SMA Negeri 2 Bekasi
menunjukkan adanya hubungan antara perasaan kesepian dan kecanduan smartphone.
Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa masalah dalam
keluarga, seperti kurangnya keharmonisan atau komunikasi, dapat berkontribusi
pada kecenderungan remaja untuk menggantungkan diri pada ponsel.
Keberfungsian keluarga merupakan
proses interaksi di dalam keluarga yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
fisik, psikologis, dan sosial setiap anggota keluarga. Keluarga yang berfungsi
dengan baik dapat memberikan rasa aman, kenyamanan, dan dukungan emosional bagi
remaja, sehingga mengurangi ketergantungan mereka pada ponsel. Komunikasi yang
terbuka dan suasana keluarga yang harmonis akan berpengaruh pada remaja bahwa
ia merasa tidak perlu terlalu sering menggunakan ponsel (Eipstein
et al., dalam As-Sahih et al., 2020). Sebaliknya,
keluarga yang tidak berfungsi
dengan baik dapat menciptakan lingkungan yang tidak nyaman dan penuh tekanan
bagi anggota keluarganya, terutama remaja. Kurangnya komunikasi yang terbuka
dan suportif dalam keluarga membuat remaja merasa kesepian, tidak memiliki
tempat untuk berbagi perasaan, dan kesulitan dalam mengekspresikan emosi.
Akibatnya, remaja cenderung mencari pelarian dalam dunia digital, seperti media
sosial, dan menjadi sangat tergantung pada smartphone (As-Sahih
et al., 2020). Keluarga yang berfungsi optimal
dicirikan oleh kemampuan anggota keluarga untuk menyelesaikan masalah bersama,
berkomunikasi secara terbuka, dan saling mendukung. Adanya aturan yang jelas
namun fleksibel serta suasana yang penuh empati menciptakan lingkungan yang
nyaman bagi remaja untuk tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, keluarga yang tidak
berfungsi dengan baik seringkali ditandai oleh komunikasi yang buruk, konflik
yang terus-menerus, dan kurangnya dukungan emosional. Hal ini dapat membuat
remaja merasa terisolasi dan mencari pelarian di dunia maya (Mariyanti
et al., 2021). Pembahasan selanjutnya adalah menelisik
tentang korelasi antara kecanduan smartphone dengan gender. Analisis data menunjukkan bahwa persentase
remaja perempuan yang memiliki tingkat kecanduan smartphone yang rendah,
lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki. Perbedaan ini dapat dijelaskan oleh
kecenderungan perempuan untuk lebih fokus pada hubungan sosial langsung
dibandingkan dengan laki-laki yang mungkin lebih banyak menghabiskan waktu di
dunia maya (Lee
et al., 2014).
Sebaliknya, laki-laki
cenderung lebih tertarik pada aktivitas yang bersifat rekreatif dan memberikan
kepuasan semata, seperti perjudian, permainan video, atau konten dewasa.
(Frangos et al., dalam Van Deursen et al., 2015). Perempuan umumnya memiliki
kemampuan yang lebih tinggi dalam mengenali dan memahami emosi, baik pada diri
sendiri maupun orang lain. Mereka juga lebih sering menggunakan kata-kata untuk
mengungkapkan perasaan dan lebih mahir dalam mengendalikan emosi mereka (Barret
et al., dalam Van Deursen et al., 2015). Kemudian, pembahasan selanjutnya adalah usia
remaja yang dominan mengalami adiksi akan penggunaan smartphone. Menurut
analisis data
menunjukkan bahwa remaja dalam rentang usia 13-19 tahun memiliki persentase
kecanduan smartphone yang signifikan. Rentang usia tersebut adalah masa-masa di
mana individu masih dalam tahap perkembangan dan belum sepenuhnya memiliki
kemampuan untuk mengontrol impuls dan perilaku (As-Sahih
et al., 2020). Hasil penelitian dari Kwon
et al. (2013)
menunjukkan korelasi antara tingkat pendidikan yang rendah dan kecanduan
gadget. Individu dengan latar belakang pendidikan yang kurang cenderung
memiliki kontrol diri yang lebih rendah, sehingga lebih rentan terhadap
perilaku adiktif.
Selanjutnya, remaja pada rentang
usia 13-22 tahun mengalami masa pencarian jati diri yang intens. Proses ini
seringkali melibatkan upaya untuk diterima dan diakui oleh kelompok teman
sebaya. Karena masih dalam tahap perkembangan, remaja pada usia ini sangat
rentan terhadap pengaruh sosial (Santrock dalam Mariyanti et al., 2021). Hasil penelitian ini konsisten
dengan studi Teja
& Schonert-Reichl (2013) yang menyatakan bahwa tingkat
penyesuaian emosional dan psikologis remaja sangat dipengaruhi oleh kualitas
interaksi mereka dengan kelompok teman sebaya.
Referensi
As-Sahih, A. A., Mariyanti, S.,
& Safitri, S. (2020). Hubungan antara keberfungsian keluarga dengan
kecanduan smartphone pada remaja. JCA Psikologi, 1(2), 93–105.
Eisenberg, N. (2006). Emotional
regulations and childrens socioemotional competence. Child Psychology: A Handbook
of Contemporary, 357–381.
https://www.researchgate.net/publication/313121987_Emotion_Regulation_and_Childrens_Socioemotional_Competence
Kementerian Komunikasi dan Digital.
(2020). Indonesia raksasa teknologi digital. Komdigi.go.id.
https://www.komdigi.go.id/berita/sorotan-media/detail/indonesia-raksasa-teknologi-digital-asia
Kwon, M., Dai, K.-J., Cho, H., &
Yang, S. (2013). The smartphone addiction scale: Development and validation of
a short version for adolescents. Plos One, 8(12).
https://doi.org/doi:10.1371/journal.pone.0083558
Lee, H., Ahn, H., Choi, S., &
Choi, W. (2014). The SAMS: Smartphone addiction management system and
verification. Journal of Medical Systems, 38(1).
https://doi.org/10.1007/s10916-013-0001-1
Lin, C. Y., Imani, V., Broström, A.,
Nilsen, P., Fung, X. C. C., Griffiths, M. D., & Pakpour, A. H. (2019).
Smartphone application-based addiction among Iranian adolescents: A
psychometric study. International Journal of Mental Health and Addiction,
17(4), 765–780. https://doi.org/10.1007/s11469-018-0026-2
Mariyanti, S., Lunanta, L. P., &
Luthfi, A. (2021). Keberfungsian keluarga dan aspek-aspek yang berkontribusi
terhadap perilaku kecanduan smartphone remaja di Jakarta. Journal of
Psychology: Humanlight, 2(1), 15–30.
https://ejournal-iakn-manado.ac.id/index.php/humanlight/article/view/556/396
Park, C., & Park, Y. R. (2014).
The conceptual model on smartphone addiction among early childhood. International
Journal of Social Science and Humanity, 4(2), 147–150.
https://doi.org/10.7763/ijssh.2014.v4.336
Riyadi, M. F., & Widiastuti, M.
(2023). Kecenderungan kecanduan smartphone ditinjau dari kontrol diri (studi
pada remaja di DKI Jakarta). Optimalisasi Potensi Generasi: Membangun
Pribadi yang Tangguh dalam Berbagai Bidang, 65–76.
Subagio, A. W., & Hidayati, F.
(2017). Hubungan antara kesepian dengan adiksi smartphone pada Ssswa SMA Negeri
2 Bekasi. Jurnal EMPATI, 6(1), 27–33.
https://doi.org/10.14710/empati.2017.15106
Teja, Z., & Schonert-Reichl, K.
A. (2012). Peer relations of Chinese adolescent newcomers: Relations of peer
group integration and friendship quality to psychological and school
adjustment. Journal of International Migration and Integration, 14,
535–556. https://doi.org/10.1007/s12134-012-0253-5
Van Deursen, A. J. A. M., Bolle, C.
L., Hegner, S. M., & Kommers, P. A. M. (2015). Modeling habitual and
addictive smartphone behavior: The role of smartphone usage types, emotional
intelligence, social stress, self-regulation, age, and gender. Computers in
Human Behavior, 45, 411–420.
https://doi.org/10.1016/j.chb.2014.12.039
Comments
Post a Comment